Kamis, 20 September 2012

Cerpen : Sepatu Putih Berenda Pink


            “Xixi.. ayo.. cepat!” Kak Cici meneriaki Xixi yang masih berdiri terpekur. Menatap pajangan sepatu putih berenda pink yang di pajang di belakang kaca bening di toko Makmur itu.
            “kakak  beliin sepatu itu dulu... ayo..” rajuk Xixi pada kakaknya. Belakangan ini, sejak Cici mengajaknya pulang melewti toko Makmur, Xixi selalu merajuk kepada Cici. Meminta Cici untuk membelikan sepatu itu untuknya. Lantas hanya berdiri terpakur di depan akaca toko kalau Cici melarangnya. Setiap hari begitu. Saat Cici mengajaknya untuk melewati rute lain, Xixi langsung berlari mendahului, langsung berdiri terpekur menatap sepatu itu lamat-lamat. Cici hanya bisa menghela nafas, pelan-pelan mengajak Xixi pulang.

            Hari ini Cici kalah. Ia hanya bisa duduk menunggui Xixi yang masih berdiri menatap takzim ke arah sepatu itu. “Xixi.. ayo, mama pasti sudah menunggu di rumah” sekali lagi Cici berteriak membujuk Xixi. “Tidak mau...!” teriak Xixi membantah. Penjaga toko makmur hanya bisa melihat bingung, geleng-geleng kepala. Mungkin sebagian karyawan merasa iba. Namun apa daya, penghasilan per bulan mereka bekerja di toko ini saja hanya bisa memenuhi selama setengah bulan. Sisanya mereka mencari sampingan.
            Jarum di jam dinding toko sudah menunjukkan pukul satu siang. Matahari sedang ganas-ganasnya membakar ubun-ubun. Tapi Xixi masih saja bertahan. “Xixi.. ayo kita pulang, kakak janji, nanti kalau dagangan ibu laku, kita beli sepatu itu..” akhirnya Cici terpaksa membual. “Benarkah?” Xixi langsung menoleh dengan tatapan gembira. Senang akan dibelikan sepatu baru. Ia langsung berlari menghampiri Cici yang terduduk di trotoar jalan. Buru-buru mengajak Cici pulang.
            Esoknya, setelah pulag sekolah, Xixi tidak berdiri terpekur menatap sepatu itu. Ia malah yang buru-buru mengajak Kak Cici pulang. Sesampainya di rumah, Xixi langsung menghampiri mama di dapur. Membantu mama yang membuat kue untuk dijual. Xixi dengan sigap menggulung-gulung adonan, lantas menceburkannya ke didihan minyak di penggorengan. “Sreng...” bunyi adonan pisang yang tercebur ke didihan minyak itu terdengar renyah. “Pasti rasanya juga renyah, siapa dulu dong buatan Xixi..” Xixi berkata bangga.
            Setelah semuanya di siapkan di atas dandang. Xixi dan ibu langsung pergi berkeliling menjajakan Pisang goreng. Cici bertugas menjaga rumah. “Pisang goreng enak.. pisang goreng enak..” suara Xixi terdengar beremangat diikuti suara derap langkahnya yang berenergik.
            Belum setengah jam, dangangan Xixi dan Mama sudah ludes setengahnya. Tinggal tersisa setengah. Dan kini, dandang pisang goreng Xixi dan Mama sudah dikerubuti oleh anak-anak tk. Habis seperempatnya. Berarti tinggal sedikit. Saat jalan pulang melewati rute seperti biasa. Ada om-om berwajah tegas menghampiri dan membeli sisa dagangan mereka. Semuanya ludes, habis. Dan benar saja, saat melewati toko Makmur. Xixi merajuk kepada Mama untuk membeli sepatu putih berenda pink itu.
            Mama tidak liai membujuk seperti Kak Cici. Jadi saja Mama harus menunggu di trotoar jalan. Menunggui Xixi yang berdiri dengan mata berkaca-kaca. Hampir menangis. Mama menolak untuk membelikan sepatu itu. Uang hasil jualan hari ini untuk membeli buku pelajaran Xixi saja, kan sepatu Xixi masih bagus. Ujar Mamam sewaktu membujuk Xixi. Namun, keras kepalanya tidak berubah. Xixi masih saja merajuk. Jadi, Mama membiarkan Xixi berdiri di depan kaca bening itu.
            Tiba-tiba, seseorang menepuk bahu Mama. “Ibu yang tadi jualan pisang kan?” seseorang itu bertanya. Mama mengangguk. “Ibu kenapa duduk disini? Lalu kenapa anak ibu menangis disana?” ia bertanya lagi. Ibu hanya menunduk, lantas berkata lirih “Belakangan ini, dia merajuk ingin membeli sepatu yang terpajang disana. Rupanya kakaknya membujuk di kemarin, kalau dagangan Mama laku, nanti dibeliin. Jadi saja, ia merajuk hari ini”. Seseorang itu hanya mengangguk prihatin. Lalu mendekat ke Xixi. “Kamu mau membeli itu ya?” ujar seseorang itu sambil tangan kanannya menunjuk sepatu itu, dan tangan kirinya mengusap-usap rambut Xixi. Xixi hanya mengangguk. Tetes air mata pertamanya jatuh.
            Tiba-tiba, seseorang itu mengajak Xixi masuk ke dalam. Mama yang melihat dari luar hanya bisa menduga-duga kebingungan.
            Tak beberapa lama kemudian, mereka berdua keluar dari toko Makmur. Muka Xixi terlihat senang. Dia memegang plastik berisi sesuatu. Yang pasti, bukan plastik berisi pisang goreng.
            “Mama.. aku dibelikan sepatu putih itu sama Om ini” teriak Xixi sambil tersenyum menunjuk kepada seseorang itu. Seseorang itu hanya mengangguk tersenyum. Mama yang masih dengan perasaan bingung bercampur senang menghampiri seseorang itu. Hampir-hampir memeluknya. Tapi seseorang itu menolaknya, ia hanya bersalaman dengan Mama, ia mencium tangan Mama.
            Xixi masih senang dengan bungkusan sepatu barunya yang mungkin akan dipakainya besok. Mama tidak berhenti berterimakasih kepada seseorang itu. “Tidak apa-apa bu, anak yang rajin seperti Xixi harus diberi hadiah” ujar seseorang itu ramah. Xixi hanya mengangguk kegirangan karena dibela. Mama lagi-lagi tidak berhenti berterimakasih. Orang-orang disekitar memperhatikan dengan bingung. Satu-dua cuek-cuek saja.
            Akhirnya terimakasih terkahir diucapkan Mama kepada seseorang itu. Karena seseorang itu bilang, dia harus pergi, ada tugas lain yang menunggunya. Xixi mencium tangan seseorang itu. Dan seseorang itu mencium tangan Mama dengan sopan. Dan akhirnya, seseorang itu menghilang di kelokan jalan.
            Xixi dan Mama pulang dengan perasaan tenang dan bahagia. Mama pulang dengan segepok uang ditangannya hasil jualan tadi, dan Xixi pulang dengan bungkusan sepatu putih berenda pink yang di impi-impikannya sejak lama.

--TAMAT--

Karya Alfa Yuditya N.

1 komentar: