Sambungan dari bagian ke-1
Karya Alfa Yuditya Nugraha
Namun Andra dan Andre mempunyai cita-cita lain. Andra
bercita-cita menjadi Polisi, Tentara, atau apalah, pokoknya yang berkaitan
dengan kemiliteran. Sedangkan Andre mempunyai
cita-cita menjadi seorang seniman. Ia membuat berbagai karya, Puisi, Lagu, lukisan.
Sebenarnya mereka berdua tidak suka disuruh-suruh belajar matematika yang
rajin. Walaupun keduanya sudah mahir dalam urusan hitung menghitung, namun
mereka tetap menghargai dan menghormati Ayah mereka. Mereka tetap menurut jika
disuruh belajar matematika. Pernah suatu ketika, mereka berdua disuruh
menghitung contoh buku tabungan sederhana.
“Pusing!” ujar keduanya. Pak Boni tertawa kecil,
“mungkin kalian berdua belum waktunya untuk menjadi seorang pegawai bank
seperti Ayah”.
Mereka berdua sudah setengah jalan menuju warung.
Melewati Pos Hansip yang dijaga oleh Hansipnya dalam mimpi. Hansip itu
tertidur. “Huh! Bukanya berjaga malah tidur!” Andra mendesis pelan.
Warung tinggal berjarak lima meter lagi dari Andra dan
Andre. Mereka berjalan semakin cepat. Bahkan Andra berlari-lari kecil. Lalu
terlintas sesuatu di benak Andra. Andra berhenti dari larinya. Berbalik ke arah
Andre yang masih berjalan santai di belakangnya. “Eh Ndre, gua punya ide” Andra
berkata dengan wajah sumringah. Yakin bisa memenangkan satu es teh di warung
nanti. “Apa idenya?” Andre menatap bingung. “Gini, gimana kalau kita balap lari
dari sini sampai ke warung. Yang menang, nanti boleh di traktir es sama yang
kalah. Gimana?”. “Ayo, siapa takut..” Andre menjawab semangat. Pertandingan pun
dimulai. Mereka berdua bersiap di garis start.
Menentukan awalan jogkok. Andra yang menghitung. “Satu…. Dua…… Tiga..!”. Andra
langsung melesat, meninggalkan Andre yang berlari terengah-engah mengejar.
Kalau sudah urusan olahraga, Andra jagonya. Dengan badan yang lumayan berisi
itu jelas ia mempunyai tenaga yang besar. Sedangakn Andre berperawakan lebih
kecil dari Andra. Jelas, tenaganya lebih kecil dibanding Andra.
Namun akal Andre cerdas. Ia melihat Andra sesekali
sandalnya terlepas karna berlari di jalan berkerikil, licin. Lepas, cepat
memakai kembali. Lepas, pakai lagi. Tiba-tiba, terlintas ide di kepala Andre.
Di sebelah jalan kompleks yang sekarang mereka sedang lalui itu terdapat
lapangan basket. Dasarnya cor-coran semen. Pasti tidak akan licin disitu. Andre
langsung mengambil ancang-ancang untuk melompati parit yang memisahkan jalan
dengan lapangan basket itu. “Hap!” Andre teah berada di pinggir lapangan basket
itu. Benar saja, berlari di lapangan cor-oran semen lebih cepat dibanding di
jalanan kerikil. Andre berlari hampir menyamai Andra yang sedari tadi sandalny
selalu lepas.
Warung sudah terlihat di depan. Pintunya berada di
sebelah kiri dari arah Andre dan Andre berlari. “Yes..!” mereka berdua berteriak
bersamaan. Mereka berdua sampai bersama di halaman kiri warung tersebut. Mereka
berdua masih terengah-engah. Lantas berjabat tangan, menyatakan pertandingan
seri. Tak ada yang mentraktir es teh. Namun, hari ini mereka berdua rupanya
tidak bertuah. “Sial!” Andra yang berjalan lebih dulu ke arah depan warung
tersentak kaget. ‘Kenapa Ndra?” Andre bertanya bingung. “Kau lihat saja
sendiri” Andra berkata kesal. Andre yang sedari tadi masih tertunduk memegang
lutut, terengah-engah. Mulai berjalan ke arah depan warung. “Astaga!” Andre
ikut tersentak. Pintu warung itu tertutup. Di pintunya terpampang sebuah kertas
dengan tulisan acak-acakan. “Selama Liburan, warung tutup”. Andre masih tidak
percaya, menatap penuh penyesalan. Kalaupun tadi Andra yang menang, percuma
saja. Warung tutup. Tak berpenghuni. Tak akan ada yang mendapatkan
traktiran es teh.
Andra
sudah menjauh dari halaman depan warung itu. Menendang-nendang yang ada di
sekitarnya. Benar kan? Andra tak bisa mengendalikan emosinya. Padahal tak ada
gunanya iya menendang pohon, botol air mineral, ataupun pagar warung. Apakah
setelah Andra melakukan tindakan bodoh itu warung akan ujug-ujug buka? Tidak
bukan? Seharusnya ia, menerima dengan lapang dada, sabar, dan mencari solusi
lain. Seperti pergi mencari warung lain, mencari tukang minuman es keliling,
atau pulang ke rumah, mengendarai motor, lalu menuju ke toserba terdekat.
Bukankah itu ide yang cemerlang? Jelas-jelas Toserba tidak tutup saat hari
liburan seperti ini. Malah membuka lebar-lebar pintunya agar banyak pengunjung
dapat masuk.
Namun,
emosi telah merasuki otak, jiwa, dan raga Andra. Ia tak mampu berfikir rasional lagi. Tak ada satu akal pun
yang lewat di benaknya sat ini. Yang ada hanyalah hasrat untuk melampiaskan
emosi. Justru ide itu terlintas di fikiran Andre yang sedari tadi masih menatap
pintu warung yang tutup. Namun tatapannya bukanlah tatapan kosong, bukan
melamun. Ia terus berfikir. Mengoptimalkan kinerja otaknya untuk mencari solusi
lain. Bukannya bersifat bodoh seperti Andra
yang hanya menuruti emosinya.
“Ndra,
apa yang kau lakukan?” Andre bertanya sambil menoleh ke Andra yang masih sibuk
dengan emosinya. “Sedang apa? lu gak lihat? gua lagi kesal!” ujar Andra sambil
mengambil ancang-ancang. Hendak menendang kuat-kuat pohon mangga yang ada di
depannya. “Buakkk...!!!!” “Aduh..!!” Andra kesakitan. Saat ia berhasil
menendang kuat-kuat pohon mangga di depannya. Satu buah mangga muda yang
lumayan besar ukurannya jatuh tepat di kepala Andra. Ia jatuh terduduk. Gurat
wajahya masih melukiskan rasa sakitnya. Namun, rasa sakitnya lekas hilang.
“Ahh
sial benar gua hari ini!” Andra bangun kembali sambil mengusap-usap kepalanya.
“Ndra, bagaimana kalo kita ke minimart di sebelah kompleks saja” seru Andre
bersemangat. “Ide bagus! Ayo cepat! Tenggorokanku sudah tak sabar lagi ingin di
aliri satu botol minuman mangga dingin” ujar Andra sambil mengusap-usap
tenggorokannya. Lantas langsung berjalan meninggalkan Andre. Andre segera
mengimbangi derap langkah Andra yang cepat.
Bersambung....
0 komentar:
Posting Komentar